Sabtu, 08 Desember 2012

Akhudiat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Akhudiat
Lahir 5 Mei 1946 (umur 66)
Karanganyar, Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur
Pekerjaan Penulis
Kebangsaan Bendera Indonesia Indonesia
Istri/Suami Mulyani
Anak Ayesha, Andre Muhammad, Yasmin Fitrida
Akhudiat, juga dikenal dengan nama Diat (lahir di Karanganyar, Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, 5 Mei 1946; umur 66 tahun), adalah seorang penulis Indonesia, terutama menulis drama atau naskah lakon/skenario, juga menulis cerita pendek, puisi, buku umum (non-fiksi).[1]Akhudiat juga menerjemahkan beberapa karya drama atau tentang drama dari bahasa Inggris.[2]

Daftar isi

Pendidikan dan Karir

Menempuh pendidikan Sekolah Rakyat(SR) Rogojampi, Banyuwangi, lulus tahun 1958, lalu melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) IV Jember, lulus tahun 1962, kemudian melanjutkan sekolah di PGAA Malang sambil mengajar di beberapa SMP/SMA, serta madrasah tsanawiyah/aliyah.[2] Selepas itu, Diat belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) III Yogyakarta, lulus tahun 1965.[2] Tahun 1972—1973, kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS) namun tidak tamat.[2]
Sejak tahun 1970 diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Pusat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya.[2] Jabatan terakhirnya adalah Kepala Bagian Kemahasiswaan, Kantor Pusat IAIN Sunan Ampel Surabaya, pensiun tahun 2002.[2] Setelah pensiun, sejak tahun 2002 hingga sekarang, ia menjadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.[2]
Akhudiat menjabat sebagai Komite Sastra dan Teater di Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982.[2]Pada tahun yang sama (1972—1982), juga sebagai sutradara dan penulis naskah teater di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Ia menjadi anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) sejak tahun 1999 hingga sekarang.[2]Menjabat sebagai steering committee Festival Seni Surabaya (FSS) sejak tahun 2000 hingga sekarang.[2]

Karya dan Proses Kreatif

Pernah ikut kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro pada 1965,[3], juga berguru di kelompok teater Arifien C. Noer. Di bidang teater, Akhudiat juga mementaskan drama selain berperan sebagai aktor.[2]
Tulisan pertama Akhudiat adalah tentang Markeso, seorang aktor tunggal “Ludruk Garingan”, dimuat di Surabaya Post tahun 1970. Drama Indonesia sampai tahun 1970an, biasa menggunakan panggung prosenium, yakni konsep panggung yang mengangankan bingkai gambar dua dimensi yang tampak depan, samping, dan satu fokus utama, di mana gambar atau adegan itu meniru alam atau dunia di luar panggung, sehingga adegan di panggung dibuat dalam latar seperti suasana di dalam rumah dengan segala perlengkapan perabotannya, atau adegan hutan, jalan, pantai, taman, dengan layar scenery dan para pelaku duduk-duduk atau jejer wayang dalam melakoni nasibnya.[2] Menurut Diat, panggung indah dan rapi yang sudah berlangsung sejak era Stamboel atau Opera Melayu, dan masih bisa dilihat turunannya pada panggung Srimulat, Ketoprak, atau Ludruk, tersebut kurang imajinatif, kurang “liar”, dan terlalu “diatur”.[2] Menyikapi hal tersebut, bersama komunitas Bengkel Muda Surabaya, Akhudiat menawarkan panggung yang lain, yaitu “panggung kosong”.[2]
Konsep panggung kosong tersebut adalah konsep yang menganggap dunia panggung sebagai dunia imajiner, make-believe, pura-pura, rekaan, mungkin tiruan alam luar panggung, mungkin juga tidak. Bisa berasal dari mana pun: gagasan sejarah, pengalaman, peristiwa sehari-hari, berita/artikel, mimpi, bahkan pure nothing, diraih dari angin. Maka muncullah di panggung, orang atau barang, baik sebagai pelaku/pelakon atau properti/alat bermain.[2] Semuanya berubah, bergerak, berombak, berirama, berganti, bertukar, berkeliaran, bahkan berontak, menjadi lakon. Maka adegan-adegannya dominan out-door/exterior. Dengan konsep tersebut, drama bisa dimainkan di mana pun, baik di dalam gedung, taman, lapangan, halaman, pendapa, arena, atau di mana saja.[2] Karena itu, beberapa lakon awal Akhudiat dijuluki “teater jalanan.”[2]
Dengan pikiran “teater jalanan”, Diat mendapat gagasan ketika sering ketemu corat-coret (graffiti, tunggal: graffito) berupa tulisan atau cukilan di tembok, pohon, batu, bangku, gardu, halte, stasiun, terminal, tempat wisata, atau di mana pun, yang hanya berisi dua nama, pemuda dan pemudi yang sedang bercinta.[2] Pesan singkat ini tentu mengandung kisah panjang di baliknya. Coretan atau “Grafito” kemudian dijadikan judul naskah dramanya.[2] Grafito yang ditulis tahun 1972 ini berkisah tentang dua remaja, Ayesha dan Limbo, ketemu di jalanan. Keduanya adalah pemimpin geng yang terlibat dalam kisah love/hate, cinta/benci.[2]
Pada tahun 1973, puisinya berjudul Gerbong-gerbong Tua Pasar Senen, mendapat juara II Lomba Penulisan Puisi versi Dewan Kesenian Surabaya.[2] Karya dramanya, Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratap, memenangkan lomba naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1974.[2]
Cerpen Diat, “New York Sesudah Tengah Malam”, yang pertama kali dimuat di Majalah Horison, Oktober 1984, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Dede Oetomo, dosen Unair Surabaya, dengan judul New York After Midninght, diterbitkan dan dijadikan judul buku kumpulan sebelas cerpen Indonesia dari 11 cerpenis, merujuk pengalaman tinggal di Amerika Serikat serta pandangan mereka tentang Amerika.[2] Buku tersebut disunting oleh Satyagraha Hoerip (Oyik), diterbitkan Executive Committee, Festival of Indonesia, USA, 1990-1991.[2] Diterjemahkan lagi oleh John H. McGlynn, New York After Midninght, dimasukkan dalam kumpulan puisi, cerpen, dan esai tentang New York setelah mengalami tragedi 11 September 2001.[2] Terjemahan McGlynn ini dimuat oleh majalah Persimmon, Asian Literature, Art and Culture, Volume III, November 1, Spring 2002, diterbitkan Contemporary Asian Culture, New York.[2]
Karya dramanya, Jaka Tarub, termasuk salah satu karya yang dimuat dalam kompilasi seratus tahun drama Indonesia dalam buku Antologi Drama Indonesia Jilid 3, 1946-1968.[1] Termasuk karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul sama, dimuat dalam The Lontar Anthology of Indonesian Drama 3: New Directions 1965-1998.[4] Menurut Cobina Gillit, editor The Lontar anthology of Indonesian Drama Vol. 3, karya Akhudiat tersebut dipilih sebagai representasi karya drama yang mengadaptasi cerita rakyat, yang merupakan jenis karya dominan di Jakarta, khususnya pada awal 1970an.[4]
Tahun 1975 ia mengikuti Iowa International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.[1]

Keluarga

Akhudiat menikah dengan Mulyani pada 4 November 1974, mempunyai 3 anak: Ayesha (lahir pada 1975), Andre Muhammad (lahir pada 1976), dan Yasmin Fitrida (lahir pada 1978). Bersama keluarganya, Akhudiat sekarang tinggal di Surabaya.

Hasil karya

Karya Asli
  • Gerbong-Gerbong Tua Pasar Senen (antologi puisi dan prosa, 1971)[1]
  • Grafito (drama 1972)[1]
  • Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (drama, 1974)[1]
  • Jaka Tarub (drama, 1974)[1]
  • Bui (drama, 1975)[1]
  • Re (drama, 1977, drama-drama ini merupakan pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta)[1]
  • Putih dan Hitam (drama, 1978)[1]
  • Suminten dan Kang Lajim (drama anak, 1982)[1]
  • Mencari Air dalam Air (kumpulan puisi, 1983)[1]
  • Cerita Pendek dari Surabaya (antologi cerpen, 1991; ed. Suripan Sadi Hutomo)[1]
  • Bermula dari Tambi (antologi cerpen, 2000)[1]
  • Memo Putih (antologi puisi, 2000)[1]
  • Menyambung yang Patah(skenario film sinetron, 1984)[3]
  • Endang Baru (skenario film sinetron, 1984)[3]
Karya terjemahan
  • Fred karya Sherwood Anderson yang kemudian diubah berjudul Kematian di dalam Hutan
  • Sumur karya Agusto Cespedes
  • Model karya Bernard Malamud
  • Apotek karya Anton Chekov
  • Kisah Pohon Abu karya Peter Handke
  • Benang Laba-laba karya Ryonusuke Akutagawa
  • Raja Ubu karya Alfred Jarry
  • Jalan Tembakau karya Erskine Caldwell
  • Katastrof dari New Yorker, drama absurd karya Samuel Beckett, .

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia) Antologi Drama Indonesia Jilid III. Amanah-Lontar, 2006, Jakarta. ISBN 979-99858-4-6
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z (Indonesia) Aminoedhin, Aming. "Sosok Sastrawan yang Dramawan". Diposting 19 Februari 2009 di http://malsasaakbar.blogspot.com/2009/02/biodata-akhudiat.html diakses pada 14 Desember 2011, Biodata Akhudiat
  3. ^ a b c (Indonesia) Rampan, Korrie Layun. Leksikon susastra Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta. Halaman 33. Biografi Akhudiat (Diat)
  4. ^ a b (Inggris) The Lontar anthology of Indonesian Drama Vol. 3. Lontar Foundation, 2010, Jakarta. hlm xv-xvi


Pada Bantal Berasap Kumpuilan Puisi Afrizal malna

Judul : Pada Bantal Berasap
Penulis : Afrizal Malna
Penerbit : Omahsore 2010, Yogyakarta
Tebal : 293 hlm; 12.5 cm x 19 cm
ISBN :978-602-96582-1-7
Harga: 60.000
 

Jalan Bahasa Afrizal Malna

-- Acep Iwan Saidi

DALAM perkembangan kesusastraan Indonesia, Afrizal Malna dapat ditandai sebagai satu noktah tersendiri, sebagaimana juga Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Soetardzi Calzoum Bachri pada zamannya masing-masing. Noktah itu adalah sebuah deviasi, sebuah titik yang membuat bingkai jadi retak, lalu ia keluar: menyimpang sendiri.

Karena demikian adanya, tidak semua orang bisa memahami sajak-sajak Afrizal meskipun mungkin menyukainya. Bukti ia disukai adalah begitu banyak penyair yang menjadi epigon Afrizal. Sementara itu, salah satu bukti dari sulitnya dipahami adalah tidak satu pun epigonnya itu berhasil, semuanya bisa dibilang gagal menulis puisi.

Akan tetapi, sulit dipahami bukan berarti tidak bisa dipahami. Lewat tulisan pendek ini akan dicoba diurai, apa sebenarnya yang "dilakukan" Afrizal melalui sajak-sajaknya tersebut. Akan tetapi, sebelumnya perlu diketahui bahwa tahun ini, Afrizal menerbitkan kumpulan puisi yang terdiri atas lima kumpulan terpisah sebelumnya. Kumpulan terbaru itu ia beri tajuk ”Pada Bantal Berasap”. Terkait kehadiran buku tersebut pula esai ini disusun.

Jalan keluar dari struktur

Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional bahwa sajak harus me-ngandung makna dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Sebab, melalui sajak-sajaknya, hemat saya Afrizal tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa-yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya, Afrizal seperti hendak mengajak pembaca mencari "jalan keluar bagi bahasa" yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.

Salah satu contoh terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul ”Blax Box” (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek (terbentuknya kata) dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Alhasil, struktur menjadi yang utama.

Afrizal mengonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama ”Black Box” sebagai berikut: "nabi/ kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi".

Akan tetapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, "tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita". Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekadar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, "aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.”

Langkah ekstrem di tikungan paradigmatik

Kasus lain dari tawaran "jalan bahasa" Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran subjek (P), predikat (P), dan objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure ataupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika struktural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.

Dengan rujukan tersebut, bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal secara keseluruhan bermain pada poros sintagmatik yang ketat, tetapi sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik "kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba". Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu de-ngan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi "para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba". Dengan demikian, larik ini menjadi sangat konvensional.

Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi karena cara kita melihat bahasa memang sa-ngat konvensional. Bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengonstruksi dunia hingga ke titik yang pa-ling misterius.***

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010

Sajak Pertemuan Mahasiswa
Oleh : W.S. Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
WS Rendra Muda
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana !
Jakarta 1 Desember 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja.



============================================
Sajak Sebatang Lisong
Oleh : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat, dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.   Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,   tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan, tanpa pepohonan,   tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.

===============================================