Minggu, 14 Oktober 2012

MAKALAH TENTANG MENGENAL LEBIH DEKAT AKHLAK PARA KEKASIH ALLAH (NABI IBRAHIM, NABI YUSUF DAN NABI AYUB)

-->
MENGENAL LEBIH DEKAT AKHLAK PARA KEKASIH ALLAH
(NABI IBRAHIM, NABI YUSUF DAN NABI AYUB)
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh: Lubet Arga Tengah

Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengetahui baiknya hati dan panca indra.”[1] Berbicara masalah akhlak takkan pernah ada bahasa “basi”. Karena di zaman modern ini, bangsa kita sedang mengalami krisis moral. Demikian yang menjadi penyebab utama ketidakpenentuan bangsa ini.  Jika krisis moral dibiarkan, maka kemungkinan besar bangsa ini akan hancur masa depannya. Praktik hidup yang menyimpang dan penyalahgunaan kesempatan yang merugikan orang lain kian tumbuh subur di negeri  kita yang sungguh pelakunya tidak berakhlak.
                Masyarakat  sesungguhnya sudah ngeri dan tidak ingin lagi mendengar itu semua, tetapi sungguh media massa dan media elektronik terus memberitakannya dan ini makin membuat rakyat takut dan resah, bukan waspada. Pekerjaan rumah kita yang paling mendesak  adalah  memperbaiki akhlak, mental, dan spiritualitas bangsa ini.
                Kita perlu mengembangkan ilmu pengetahuan dan  teknologi yang berwawasan moral.  Justru semakin terbuka dan gampang diakses kejahatan lain akibat penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekali lagi kita harus mengembangkan spiritualitas dan akhlak yang mulia.[2]
Berakhlak kepada Allah bagi seorang hamba merupakan sebuah pengabdian yang bernilai tinggi dan bahkan pengabdian (ibadah) hamba tersebut berfungsi sebagai bukti dari akhlak seorang hamba. Sebab, akhlak sebagai pusat ibadah manusia pun juga bersumber dari kedua ajaran pokok tersebut (al-Quran dan Sunnah Nabi).”[3]Namun, ibadah yang di maksud adalah ibadah dengan penuh keikhlasan dan pengagungan terhadap Allah.SWT , Rasulullah SAW. Memberi petunjuk teknis berakhlak kepada Allah dalam beribadah sholat, misalnya yaitu dengan menjalani secara khusyu’, penuh konsentrasi secara paripurna, seraya meyakini dirinya bahwa dirinya di saksikan oleh Allah SWT. Seperti itulah adab atau etika dalam beribadah atau menyembah Allah SWT.
Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan membahas lebih dalam lagi tentang akhlak, yang dapat kita ketahui melalui akhlak para Nabi khususnya  Nabi Ibrahim, Nabi Nabi Ayub, dan  Nabi Yusuf.
BAB II
PEMBAHASAN

A.             Akhlak Nabi Ibrahim As.
1.              Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim As. Di antara kisah beliau adalah ketika beliau didatangi para malaikat yang akan diutus untuk membinasakan kaum Luth. Para malaikat tersebut terlebih dahulu mendatangi Ibrahim dan istrinya, Sarah untuk memberi kabar gembira akan kelahiran anak mereka yang ‘alim yaitu Nabi Allah Ishaq As. Sebagaimana Allah berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ. إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ. فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ. فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ. فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ. فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ. قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ.
Artinya: Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).[4]

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala benar-benar memuji kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis salam. Para malaikat sebagai tamu tadi, ketika masuk ke rumah beliau, mereka memberikan penghormatan dengan ucapan, “Salaaman”. Aslinya, kalimat ini berasal dari kalimat, “Sallamnaa ‘alaika salaaman (kami mendoakan keselamatan padamu)”. Namun lihatlah bagaimana jawaban Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam terhadap salam mereka. Ibrahim menjawab, “Salaamun”. Maksud salam beliau ini adalah “salaamun daaim ‘alaikum (keselamatan yang langgeng untuk kalian)”. Para ulama mengatakan bahwa balasan salam Ibrahim itu lebih baik dan lebih sempurna daripada salam para malaikat tadi. Karena Ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan kata benda) sedangkan para malaikat tadi menggunakan jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja). Menurut ulama balaghoh, jumlah ismiyyah mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus. Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim ‘alaihis salam. Kita bisa mengambil pelajaran dari sini bahwa hendaklah kita selalu menjawab ucapan salam dari saudara kita dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).[5]
Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: “Assalaamu ‘alaikum”, maka minimal kita jawab: “Wa’laikumus salam”. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah”, atau kita tambahkan lagi: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh”. Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas pula, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih. Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum (bukan cemberut) dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas salam dengan yang lebih baik.

2.                    Memuliakan Tamu
     Dalam cerita Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga yaitu akhlaq memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim As.  untuk tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:
a.          Beliau melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya.
b.          Beliau menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau sebagian saja.
c.          Beliau pun memilih daging dari kambing yang gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat berharga.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita Muhammad SAW.

3.                    Berbicara dengan Lemah Lembut
Dalam ayat yang kami bawakan di awal tadi, kita dapat menyaksikan bagaimana Nabi Ibrahim As.  juga mencontohkan akhlaq berbicara lembut kepada para tamunya. Lihatlah ketika menjawab salam tamunya, beliau menjawab, “Salaamun qoumun munkarun” (selamat atas kalian kaum yang tidak dikenal). Kalimat ini dinilai lebih halus dari kalimat ‘ankartum‘ (aku mengingkari kalian). Begitu pula ketika Ibrahim mengajak mereka untuk menyantap makanan. Bagaimana beliau menawarkan pada mereka? Beliau katakan, “Ala ta’kuluun” (mari silakan makan). Bahasa yang digunakan Ibrahim ini dinilai lebih halus dari kalimat, “Kuluu” (makanlah kalian). Ibaratnya Ibrahim menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan tamunya. Kalau kita mau sebut, beliau menggunakan bahasa “kromo” (bahasa yang halus dan lebih sopan di kalangan orang jawa). Inilah contoh dari beliau bagaimana sebaiknya seseorang bertutur kata.

B.                  Akhlak Nabi Yusuf  As.
1.        Teguh dalam Menjaga Diri.  
Ketika beliau digoda oleh istri Al-’Aziz (raja Mesir), beliau menolaknya dengan sangat sopan.. Qoola ma’aadzallaah.. Innahuu rabbiiy ahsana matswaay.. “Aku berlindung kepada Allah.. Sesungguhnya dia, tuanku –yang memilikiku sebagai budaknya-  benar-benar telah memperlakukanku secara baik.”[6]
Kemudian Nabi Yusuf memberi alasan tentang sikapnya tersebut dengan berkata: Innahuu laa yuflihudh-dhoolimuun.. “Sesungguhnya Allah Ta’ala takkan memberi kemenangan pada orang yang berbuat dholim..”[7] yaitu perbuatan menganiaya diri sendiri atau menganiaya orang lain dengan suatu pengkhianatan atau melanggar kehormatan.
Kata-kata Nabi Yusuf tersebut merupakan isyarat bahwa ia merasa bangga dengan Rabbnya dan teguh memegang agama dan amanat Rabbnya.. serta menyindir pengkhianatan istri tuannya. Oleh karena pengelakan itu, istri Al-‘Aziz menjadi marah, hendak membalas dendam kepada Nabi Yusuf agar kemarahannya terobati karena ia gagal mencapai keinginannya dan terhina dengan sikap Nabi Yusuf yang tidak mau meladeni kehendaknya. Sedangkan Nabi Yusuf bersiap-siap hendak membela diri dari serangan wanita itu dan hendak memukulnya. Namun, Nabi Yusuf melihat tanda dari Rabbnya.. dari lubuk jiwanya. Apakah itu?Allah memberi ilham pada Nabi Yusuf bahwa lari dari tempat itu adalah lebih baik sehingga ia tidak jadi menyerang wanita itu dan lebih baik lari menghindarinya. Dengan demikian, terlaksanalah kebijaksanaan Allah tentang apa yang Dia persiapkan untuk Nabi Yusuf. “Kadzaalika linashrifa ‘anhus-suu-a wal fakhsyaa’..”Demikianlah agar Kami memalingkannya dari kemungkaran dan kekejian..” Allah menghindarkan Nabi Yusuf dan menjaganya dari dorongan untuk melakukan keburukan ataupun dorongan untuk melakukan kekejian sehingga beliau takkan keluar dari orang yang berbuat baik menuju golongan orang yang berbuat dholim.

2.        Membalas Kejahatan dengan Kebaikan
Dalam surat yusuf pada ayat 89-92, diceritakan akhirnya saudara-saudaranya mengetahui bahwa pembesar Mesir yang mereka mintai bantuan itu adalah Nabi Yusuf. Tentu mereka merasa takut karena dulu pernah membuangnya ke sumur dan meninggalkannya. Namun, justru Nabi Yusuf dengan kelembutan hati tidak mencela kepada mereka sedikitpun. Bahkan, malah mendoakan agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahan mereka.

      3.        Kesantunan dan Kelembutan Nabi Yusuf.
Jika kita memperhatikan gaya bahasa yang dipakai Nabi Yusuf dalam berbicara atau menjawab pertanyaan, maka akan kita temukan kata-kata yang sangat halus, sangat sopan, dan sangat indah.. J Juga sikap beliau yang sangat santun dan hormat pada orang tuanya dan juga pada saudara-saudaranya.
Dari keseluruhan akhlaq Nabi Yusuf As. tersebut, saudara-saudaranya yang awalnya iri dan dengki pada beliau hingga berbuat jahat pada beliau, akhirnya -bi idznillah- menjadi orang-orang yang baik dan bertaubat pada Allah. Ini merupakan kisah yang happy ending.
Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa meskipun secara lahir pada awalnya seseorang mendapatkan bencana/hal yang tidak disukainya, namun sebenarnya Allah memiliki hikmah yang besar di baliknya. Sebenarnya Allah memberikan karunia kepadanya. Meskipun pada awalnya saudara-saudara Yusuf berlaku jahat padanya, sedangkan dia tetap sabar menghadapi segala kesusahan itu hingga Allah memberinya kedudukan yang tinggi di Mesir dan menganugerahi Nabi yusuf berupa hukum dan ilmu ta’bir mimpi.
Semua ini adalah balasan dari Allah atas kebaikan Nabi Yusuf ‘alaihis salamdalam perjalanan hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi anugerah pada tiap cobaan dan memberi kenikmatan pada setiap yang pada lahirnya berupa bencana/musibah.

C.                       Akhlak Nabi Ayub As
Ulama ahli tafsir, ahli sejarah, dan ilmuwan lainnya mengatakan, bahwa Nabi Ayub adalah seorang laki-laki yang kaya raya dengan berbagai macam harta kekayaannya, baik berupa binatang ternak, tanah pertanian yang membentang di daerah hurran. Namun, tak membuatnya dia sombong atau merasa bangga akan harta kekayaannya.”[8]
Ibnu Asakir menceritakan bahwa semua itu adalah milik Nabi Ayub. Ia mempunyai  anak dan keluarga yang sangat banyak.  Lalu semua kekayaan itu diambil darinya, lalu fisiknya diuji dari berbagai macam penyakit, sehingga tidak ada satupun anggota tubuhnya yang sehat kecuali hati dan lidahnya. Dengan hati dan lidahnya itulah Nabi Ayub selalu berdzikir kepada Allah SWT. Dalam kondisinya yang semacam itu, ia tetap sabar dan tabah serta tetap selalu berdzikir kepada Allah SWT. Pada siang dan malam hari, pagi dan sore.
Nabi Ayub menderita sakit semacam itu dalam waktu yang cukup lama hingga ia dikucilkan dan diusir dari kampungnya serta diusir keluar kampung di tempat pembuanga sampah. Tidak ada seorangpun yang menaruh kasian kecuali hanya istrinya. Ia selalu memberikan perhatian yang besar, menghargai dan tidak melupakan kebaikan dan kasih saying Nabi Ayub di masa-masa yang telah berlalu.
Istrinya tidak henti-hentinya mengurus segala yang dibutuhkannya, termasuk membantunya membuang hajat. Suatu ketika keadan istrinya semakin lemah dan kekayaannyapun semakin menipis, hingga keadaan memaksakan dirinya untuk bekerja dengan orang lain untuk dapat member makan suaminya serta mengobatinya. Ia tetap sabardan tabah dengan keadaan yang menimpa Nabi Ayub, yang kehilangan kekayaan dan anak-anak dari sisinya,serta penderitaan yang dating bertubi-tubi, dari keadaan sebelumnya yang kaya raya, benar-benar  merasakan kenikmatan dan kemuliaan. Semuanya hilang, kehormatan, kenikmatan kemuliaan, kiranya hanya satu kata yang mesti dikatakan, innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un, ( Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNYA kami akan kembali).
Semua ujian dan cobaan itu tidak menambah Nabi Ayub as. Melainkan justru membuatnya bertambah kesabaran, ketabahan, pujian dan rasa syukurnya.
Dari Mujahid, ia berkata ”Nabi Ayub as. Adalah orang yang pertama kali menderita penyakit gatal-gatal.” Mengenai berapa lama Nabi Ayub mendapat ujian semacam itu, terjadi perbedaan diantara para ahli tafsir dan sejarah.
Wahab berpendapat bahwa Nabi Ayub menjalani ujian seperti itu , selama tiga tahun, tidak lebih dan tidak kurang. Sementara Anas berpendapat bahwa Nabi Ayub menjalani ujian itu, selama tujuh tahun beberapa bulan lamanya. Ia dibuang di tempat sampah milik Bani Israil, hingga dikerumuni lalat dan berbagai macam serangga lainnnya. Maka Allah SWT. Melipat gandakan pahala baginya dan memberikan pujian yang baik kepadanya. Hamid berkata “ Nabi Ayub menjalani masa ujiannya selama delapan belas tahun.”




BAB III
KESIMPULAN

Akhlak adalah suatu ajaran, wawasan, atau perilaku manusia yang menggambarkan kepribadian yang didasari oleh nilai-nilai agama islam. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, moral atau akhlak merupakan sebuah system yang melahirkan corak yang bermacam-macam, ada akhlak tercela (madzmumah).  Kita sebagai manusia sebagai manusia seharusnya berhati-hati dalam berucap dan bersikap. Akhlak akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang akan membawa manusia pada ketenangan dan kedamaian jiwa dibawah ridha Allah SWT. Jika mereka mampu berakhlakul karimah , begitu juga sebaliknya. Akhlak yang dihadapi
Persoalan Akhlak yang dihadapi bangsa dewasa ini bukan persoalan individual,tetapi merupakan soal umat sehingga yang layak bertanggung jawab adalah institusi keluarga, karena merupakan bagian dari struktur masyarakat kecil. Jadi, proses pembelajaran akhlak dimulai dari lingkungan keluarga. Hal yang paling mudah mempelajari akhlak adalah dengan mengenal atau mengetahui akhlak-akhlak para Nabi. Salah satunya akhlak Nabi Ibrahim. Adapun akhlak yang dimiliki:
A.      Nabi Ibrahim as
·         Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik
·         Memuliakan Tamu
·         Berbicara dengan Lemah Lembut
B.      Nabi Yusuf as
·       Teguh dalam Menjaga Diri.
·       Membalas kejahatan dengan kebaikan.
·       Kesantunan dan kelembutan Nabi Yusuf.
C.      Nabi Nabi Ayub as
·       Sabar dalam menghadapi cobaan dari Allah SWT.
·       Tidak sombong
·       Selalu Taat pada perintahNya ( Bertaqwa)
·       Selalu baik terhadap sesama






[1]  K. Wakid Yusuf,Dkk. Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliah (Sumenep: Latee Annuqayah, 2010), 137.
[2]  M. Sholihin, Akhlak Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup (Bandung: Nuansa, 2005), 105.
[3]  H. Hamzah Tualeka Zn, Dkk., Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 9.
[4] QS. 51:24-30
[5]  QS. 4:86
[6] Ibnu Katsir, Qishasul Anbiya’, (Surabaya: AmeLIa, 2008), 364.
[7]  Ibid., 365.
   [8]  Ibid., 433

Tidak ada komentar:

Posting Komentar