Rabu, 07 November 2012

Potret Pendidikan Kesusastraan Pesantren


A.                Pendahuluan

Untuk mengawali tulisan ini, perlu diketahui bahwa pesantren merupakan akar budaya yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan seseorang di dalam lingkungan pesantren.
Di pesantren salah satu materi pokok pembelajaran adalah bahasa arab. Sumber paling dasar dan otentik ajaran pesantren, yakni Al-Qur’an, Hadist, dan Atsar (opini) sahabat, juga menggunakan bahasa Arab. Dalam Surah Yusuf Ayat ke-2 ditegaskan oleh Allah Swt, bahwa kitab suci umat Islam memang diturunkan dalam bahasa Arab. Penegasan ini secara sosiologis melahirkan dimensi teologis di mana mempelajari bahasa Arab bukan seperti mempelajari bahasa asing lainnya, namun ada dimensi “transendental”, dengan kata lain bagian dari ibadah.
Yang menarik, dan banyak disadari berbagai kalangan, materi pembelajaran bahasa Arab menggunakan teks yang disusun dalam bentuk --sekaligus juga metode-- sastrawi, yakni puisi atau nazdoman (syi’ir). 
Hal ini adalah sesuatu yang tidak ditemukan di komunitas maupun institusi pendidikan keislaman lain di Indonesia. Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah, Maqshud, hanyalah sebagian kecil contoh teks standar yang dipakai pesantren dalam mempelajari gramatika bahasa Arab. 
Keberhasilan menghafal bait-bait syair dalam kitab-kitab tersebut merupakan prestasi tersendiri di mata santri. Bagi komunitas lain, menghafalkan hal tersebut barangkali akan menguras energi tersendiri. 
Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi sastra di pesantren sangat kuat, paling tidak dalam salah satu genre sastra, yakni puisi.Setahu saya, tidak ada satupun bahasa di dunia ini dirumuskan dan diajarkan dalam bentuk puisi secara utuh.Banyak pemikir dunia menggunakan puisi atau genre sastra lainnya seperti novel sebagai arena mengekspresikan gagasan mereka, namun tidak dalam konteks pembelajaran bahasa.



B.                 Potret Pendidikan Kesusastraan Pesantren
Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan, pemondokan (karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap sebagai pengejawantahan lokal genius pendidikan Nusantara yang sejati.
Kekayaan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya ini tidak saja populer di Indonesia, melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.
Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Imrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.
Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.

Munculnya Wacana Sastra Pesantren
Belakangan, muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing.
Akan tetapi, ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra pesantren dianggap sebagai nama bagi genre (yang secara teoretis, hal ini tidak mendapatkan alasan pendukung), sementara di sisi yang lain sastra pesantren dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”; dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama pada era Orde Baru, orang-orang pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder dalam segala aspek kehidupannya. Tidak hanya minder, mereka juga merasa tidak mempunyai wilayah yang memadai untuk mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan bahkan di ranah pendidikan sekalipun: suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar pijakannya. Sebab, dalam banyak penelitian, pesantren dianggap sebagai pralambang model pendidikan sejati di Nusantara.
Secara lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di mushollah, dan seterusnya. Mimang, identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007).
Beruntung, sejak Gus Dur menjadi presiden, sedikit demi sedikit, kaum santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya untuk memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat dan kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren, tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran vital. Data-data yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren itu telah disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan meyakinkan bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama ini “memusuhi” pesantren.

Tradisi Intelektualisme di Pesanten
Tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada pula yang telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah satu dari kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan (pondok). Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina telah diterjemahkan dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara pesantren telah dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini merupakan model pendidikannya yang sejati.
Di samping itu, bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah kuat” tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab yang dikarang maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama agama—menjadi identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting lainnya adalah tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir atau nadham).
Transformasi ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung di pesantren, juga dari luar ke pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi, sebelum itu, perlu dicatat bahwa silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum dibentuk melalui dua fase. Fase pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara, terjadi pada abad ke-13 sampai abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad ke-18 sampai awal abad 20. Pada fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat Islam di Timur Tengah dan membawanya pulang kembali ke negeri asal mereka (Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama ini kemudian menjadi tokoh dan banyak memberikan warna pada kehidupan masyarakat.
C.                Penutup
·                     Nama pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan tradisi bangsa Indonesia.

·                     Sastra pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya sastra (genre) yang telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke Akhirat”-nya Djamil Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari “Tadarus”-nya Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang diterbitkan oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya berdasarkan kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka tentu demikianlah adanya sastra pesantren itu.


Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar