A.
Pendahuluan
Untuk mengawali tulisan ini, perlu diketahui bahwa pesantren
merupakan akar budaya yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi
seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan
seseorang di dalam lingkungan pesantren.
Di pesantren salah satu materi pokok pembelajaran adalah
bahasa arab. Sumber paling dasar dan otentik ajaran pesantren, yakni Al-Qur’an,
Hadist, dan Atsar (opini) sahabat, juga menggunakan bahasa Arab. Dalam Surah
Yusuf Ayat ke-2 ditegaskan oleh Allah Swt, bahwa kitab suci umat Islam memang
diturunkan dalam bahasa Arab. Penegasan ini secara sosiologis melahirkan
dimensi teologis di mana mempelajari bahasa Arab bukan seperti mempelajari
bahasa asing lainnya, namun ada dimensi “transendental”, dengan kata lain
bagian dari ibadah.
Yang menarik, dan banyak disadari berbagai kalangan, materi
pembelajaran bahasa Arab menggunakan teks yang disusun dalam bentuk --sekaligus
juga metode-- sastrawi, yakni puisi atau nazdoman (syi’ir).
Hal ini adalah sesuatu yang tidak ditemukan di komunitas
maupun institusi pendidikan keislaman lain di Indonesia. Jurumiyyah, Imrithi,
Alfiyyah, Maqshud, hanyalah sebagian kecil contoh teks standar yang
dipakai pesantren dalam mempelajari gramatika bahasa Arab.
Keberhasilan menghafal bait-bait syair dalam kitab-kitab
tersebut merupakan prestasi tersendiri di mata santri. Bagi komunitas lain,
menghafalkan hal tersebut barangkali akan menguras energi tersendiri.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi sastra di pesantren
sangat kuat, paling tidak dalam salah satu genre sastra, yakni puisi.Setahu
saya, tidak ada satupun bahasa di dunia ini dirumuskan dan diajarkan dalam
bentuk puisi secara utuh.Banyak pemikir dunia menggunakan puisi atau genre
sastra lainnya seperti novel sebagai arena mengekspresikan gagasan mereka,
namun tidak dalam konteks pembelajaran bahasa.
B.
Potret
Pendidikan Kesusastraan Pesantren
Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan
di Indonesia. Sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan, pemondokan
(karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu
keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap sebagai pengejawantahan lokal
genius pendidikan Nusantara yang sejati.
Kekayaan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan
banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya ini tidak
saja populer di Indonesia, melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para
pengarang tersebut antara lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali,
Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.
Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat
dengan tradisi susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh
bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu
keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini
tidak saja dipelajari, melainkan juga dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan
menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika
dikatakan seseorang belajar ‘Imrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang
belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya
sekaligus.
Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang
lainnya adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman
Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’,
bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan
dan doa keselamatan.
Munculnya Wacana Sastra Pesantren
Belakangan, muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini
berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur)
menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid
menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur
kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus
Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren,
termasuk masyarakat asing.
Akan tetapi, ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah
tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra pesantren dianggap sebagai nama bagi genre
(yang secara teoretis, hal ini tidak mendapatkan alasan pendukung), sementara
di sisi yang lain sastra pesantren dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”;
dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan,
wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan
yang berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi
maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa
mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama
pada era Orde Baru, orang-orang pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder
dalam segala aspek kehidupannya. Tidak hanya minder, mereka juga merasa tidak
mempunyai wilayah yang memadai untuk mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan
bahkan di ranah pendidikan sekalipun: suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar
pijakannya. Sebab, dalam banyak penelitian, pesantren dianggap sebagai
pralambang model pendidikan sejati di Nusantara.
Secara lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan
mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas
kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di mushollah,
dan seterusnya. Mimang, identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat
karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk
mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007).
Beruntung, sejak Gus Dur menjadi presiden, sedikit demi
sedikit, kaum santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya
untuk memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat dan
kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno
seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik
Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif
sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal
menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren,
tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran
vital. Data-data yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren
itu telah disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan
meyakinkan bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama
ini “memusuhi” pesantren.
Tradisi Intelektualisme di Pesanten
Tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada
pula yang telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan yang asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah
satu dari kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan
(pondok). Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina telah diterjemahkan
dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara pesantren telah
dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini merupakan model
pendidikannya yang sejati.
Di samping itu, bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah
kuat” tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab
yang dikarang maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama agama—menjadi
identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting lainnya adalah
tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir atau nadham).
Transformasi ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung
di pesantren, juga dari luar ke pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi,
sebelum itu, perlu dicatat bahwa silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum
dibentuk melalui dua fase. Fase pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara,
terjadi pada abad ke-13 sampai abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad
ke-18 sampai awal abad 20. Pada fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat
Islam di Timur Tengah dan membawanya pulang kembali ke negeri asal mereka
(Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama ini kemudian menjadi tokoh dan banyak
memberikan warna pada kehidupan masyarakat.
C.
Penutup
·
Nama
pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan
tradisi bangsa Indonesia.
·
Sastra
pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya sastra (genre) yang
telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke Akhirat”-nya Djamil
Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari “Tadarus”-nya
Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang diterbitkan
oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya berdasarkan
kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka tentu
demikianlah adanya sastra pesantren itu.
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar