Sabtu, 08 Desember 2012

Akhudiat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Akhudiat
Lahir 5 Mei 1946 (umur 66)
Karanganyar, Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur
Pekerjaan Penulis
Kebangsaan Bendera Indonesia Indonesia
Istri/Suami Mulyani
Anak Ayesha, Andre Muhammad, Yasmin Fitrida
Akhudiat, juga dikenal dengan nama Diat (lahir di Karanganyar, Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, 5 Mei 1946; umur 66 tahun), adalah seorang penulis Indonesia, terutama menulis drama atau naskah lakon/skenario, juga menulis cerita pendek, puisi, buku umum (non-fiksi).[1]Akhudiat juga menerjemahkan beberapa karya drama atau tentang drama dari bahasa Inggris.[2]

Daftar isi

Pendidikan dan Karir

Menempuh pendidikan Sekolah Rakyat(SR) Rogojampi, Banyuwangi, lulus tahun 1958, lalu melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) IV Jember, lulus tahun 1962, kemudian melanjutkan sekolah di PGAA Malang sambil mengajar di beberapa SMP/SMA, serta madrasah tsanawiyah/aliyah.[2] Selepas itu, Diat belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) III Yogyakarta, lulus tahun 1965.[2] Tahun 1972—1973, kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS) namun tidak tamat.[2]
Sejak tahun 1970 diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Pusat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya.[2] Jabatan terakhirnya adalah Kepala Bagian Kemahasiswaan, Kantor Pusat IAIN Sunan Ampel Surabaya, pensiun tahun 2002.[2] Setelah pensiun, sejak tahun 2002 hingga sekarang, ia menjadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.[2]
Akhudiat menjabat sebagai Komite Sastra dan Teater di Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982.[2]Pada tahun yang sama (1972—1982), juga sebagai sutradara dan penulis naskah teater di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Ia menjadi anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) sejak tahun 1999 hingga sekarang.[2]Menjabat sebagai steering committee Festival Seni Surabaya (FSS) sejak tahun 2000 hingga sekarang.[2]

Karya dan Proses Kreatif

Pernah ikut kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro pada 1965,[3], juga berguru di kelompok teater Arifien C. Noer. Di bidang teater, Akhudiat juga mementaskan drama selain berperan sebagai aktor.[2]
Tulisan pertama Akhudiat adalah tentang Markeso, seorang aktor tunggal “Ludruk Garingan”, dimuat di Surabaya Post tahun 1970. Drama Indonesia sampai tahun 1970an, biasa menggunakan panggung prosenium, yakni konsep panggung yang mengangankan bingkai gambar dua dimensi yang tampak depan, samping, dan satu fokus utama, di mana gambar atau adegan itu meniru alam atau dunia di luar panggung, sehingga adegan di panggung dibuat dalam latar seperti suasana di dalam rumah dengan segala perlengkapan perabotannya, atau adegan hutan, jalan, pantai, taman, dengan layar scenery dan para pelaku duduk-duduk atau jejer wayang dalam melakoni nasibnya.[2] Menurut Diat, panggung indah dan rapi yang sudah berlangsung sejak era Stamboel atau Opera Melayu, dan masih bisa dilihat turunannya pada panggung Srimulat, Ketoprak, atau Ludruk, tersebut kurang imajinatif, kurang “liar”, dan terlalu “diatur”.[2] Menyikapi hal tersebut, bersama komunitas Bengkel Muda Surabaya, Akhudiat menawarkan panggung yang lain, yaitu “panggung kosong”.[2]
Konsep panggung kosong tersebut adalah konsep yang menganggap dunia panggung sebagai dunia imajiner, make-believe, pura-pura, rekaan, mungkin tiruan alam luar panggung, mungkin juga tidak. Bisa berasal dari mana pun: gagasan sejarah, pengalaman, peristiwa sehari-hari, berita/artikel, mimpi, bahkan pure nothing, diraih dari angin. Maka muncullah di panggung, orang atau barang, baik sebagai pelaku/pelakon atau properti/alat bermain.[2] Semuanya berubah, bergerak, berombak, berirama, berganti, bertukar, berkeliaran, bahkan berontak, menjadi lakon. Maka adegan-adegannya dominan out-door/exterior. Dengan konsep tersebut, drama bisa dimainkan di mana pun, baik di dalam gedung, taman, lapangan, halaman, pendapa, arena, atau di mana saja.[2] Karena itu, beberapa lakon awal Akhudiat dijuluki “teater jalanan.”[2]
Dengan pikiran “teater jalanan”, Diat mendapat gagasan ketika sering ketemu corat-coret (graffiti, tunggal: graffito) berupa tulisan atau cukilan di tembok, pohon, batu, bangku, gardu, halte, stasiun, terminal, tempat wisata, atau di mana pun, yang hanya berisi dua nama, pemuda dan pemudi yang sedang bercinta.[2] Pesan singkat ini tentu mengandung kisah panjang di baliknya. Coretan atau “Grafito” kemudian dijadikan judul naskah dramanya.[2] Grafito yang ditulis tahun 1972 ini berkisah tentang dua remaja, Ayesha dan Limbo, ketemu di jalanan. Keduanya adalah pemimpin geng yang terlibat dalam kisah love/hate, cinta/benci.[2]
Pada tahun 1973, puisinya berjudul Gerbong-gerbong Tua Pasar Senen, mendapat juara II Lomba Penulisan Puisi versi Dewan Kesenian Surabaya.[2] Karya dramanya, Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratap, memenangkan lomba naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1974.[2]
Cerpen Diat, “New York Sesudah Tengah Malam”, yang pertama kali dimuat di Majalah Horison, Oktober 1984, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Dede Oetomo, dosen Unair Surabaya, dengan judul New York After Midninght, diterbitkan dan dijadikan judul buku kumpulan sebelas cerpen Indonesia dari 11 cerpenis, merujuk pengalaman tinggal di Amerika Serikat serta pandangan mereka tentang Amerika.[2] Buku tersebut disunting oleh Satyagraha Hoerip (Oyik), diterbitkan Executive Committee, Festival of Indonesia, USA, 1990-1991.[2] Diterjemahkan lagi oleh John H. McGlynn, New York After Midninght, dimasukkan dalam kumpulan puisi, cerpen, dan esai tentang New York setelah mengalami tragedi 11 September 2001.[2] Terjemahan McGlynn ini dimuat oleh majalah Persimmon, Asian Literature, Art and Culture, Volume III, November 1, Spring 2002, diterbitkan Contemporary Asian Culture, New York.[2]
Karya dramanya, Jaka Tarub, termasuk salah satu karya yang dimuat dalam kompilasi seratus tahun drama Indonesia dalam buku Antologi Drama Indonesia Jilid 3, 1946-1968.[1] Termasuk karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul sama, dimuat dalam The Lontar Anthology of Indonesian Drama 3: New Directions 1965-1998.[4] Menurut Cobina Gillit, editor The Lontar anthology of Indonesian Drama Vol. 3, karya Akhudiat tersebut dipilih sebagai representasi karya drama yang mengadaptasi cerita rakyat, yang merupakan jenis karya dominan di Jakarta, khususnya pada awal 1970an.[4]
Tahun 1975 ia mengikuti Iowa International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.[1]

Keluarga

Akhudiat menikah dengan Mulyani pada 4 November 1974, mempunyai 3 anak: Ayesha (lahir pada 1975), Andre Muhammad (lahir pada 1976), dan Yasmin Fitrida (lahir pada 1978). Bersama keluarganya, Akhudiat sekarang tinggal di Surabaya.

Hasil karya

Karya Asli
  • Gerbong-Gerbong Tua Pasar Senen (antologi puisi dan prosa, 1971)[1]
  • Grafito (drama 1972)[1]
  • Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (drama, 1974)[1]
  • Jaka Tarub (drama, 1974)[1]
  • Bui (drama, 1975)[1]
  • Re (drama, 1977, drama-drama ini merupakan pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta)[1]
  • Putih dan Hitam (drama, 1978)[1]
  • Suminten dan Kang Lajim (drama anak, 1982)[1]
  • Mencari Air dalam Air (kumpulan puisi, 1983)[1]
  • Cerita Pendek dari Surabaya (antologi cerpen, 1991; ed. Suripan Sadi Hutomo)[1]
  • Bermula dari Tambi (antologi cerpen, 2000)[1]
  • Memo Putih (antologi puisi, 2000)[1]
  • Menyambung yang Patah(skenario film sinetron, 1984)[3]
  • Endang Baru (skenario film sinetron, 1984)[3]
Karya terjemahan
  • Fred karya Sherwood Anderson yang kemudian diubah berjudul Kematian di dalam Hutan
  • Sumur karya Agusto Cespedes
  • Model karya Bernard Malamud
  • Apotek karya Anton Chekov
  • Kisah Pohon Abu karya Peter Handke
  • Benang Laba-laba karya Ryonusuke Akutagawa
  • Raja Ubu karya Alfred Jarry
  • Jalan Tembakau karya Erskine Caldwell
  • Katastrof dari New Yorker, drama absurd karya Samuel Beckett, .

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia) Antologi Drama Indonesia Jilid III. Amanah-Lontar, 2006, Jakarta. ISBN 979-99858-4-6
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z (Indonesia) Aminoedhin, Aming. "Sosok Sastrawan yang Dramawan". Diposting 19 Februari 2009 di http://malsasaakbar.blogspot.com/2009/02/biodata-akhudiat.html diakses pada 14 Desember 2011, Biodata Akhudiat
  3. ^ a b c (Indonesia) Rampan, Korrie Layun. Leksikon susastra Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta. Halaman 33. Biografi Akhudiat (Diat)
  4. ^ a b (Inggris) The Lontar anthology of Indonesian Drama Vol. 3. Lontar Foundation, 2010, Jakarta. hlm xv-xvi


Pada Bantal Berasap Kumpuilan Puisi Afrizal malna

Judul : Pada Bantal Berasap
Penulis : Afrizal Malna
Penerbit : Omahsore 2010, Yogyakarta
Tebal : 293 hlm; 12.5 cm x 19 cm
ISBN :978-602-96582-1-7
Harga: 60.000
 

Jalan Bahasa Afrizal Malna

-- Acep Iwan Saidi

DALAM perkembangan kesusastraan Indonesia, Afrizal Malna dapat ditandai sebagai satu noktah tersendiri, sebagaimana juga Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Soetardzi Calzoum Bachri pada zamannya masing-masing. Noktah itu adalah sebuah deviasi, sebuah titik yang membuat bingkai jadi retak, lalu ia keluar: menyimpang sendiri.

Karena demikian adanya, tidak semua orang bisa memahami sajak-sajak Afrizal meskipun mungkin menyukainya. Bukti ia disukai adalah begitu banyak penyair yang menjadi epigon Afrizal. Sementara itu, salah satu bukti dari sulitnya dipahami adalah tidak satu pun epigonnya itu berhasil, semuanya bisa dibilang gagal menulis puisi.

Akan tetapi, sulit dipahami bukan berarti tidak bisa dipahami. Lewat tulisan pendek ini akan dicoba diurai, apa sebenarnya yang "dilakukan" Afrizal melalui sajak-sajaknya tersebut. Akan tetapi, sebelumnya perlu diketahui bahwa tahun ini, Afrizal menerbitkan kumpulan puisi yang terdiri atas lima kumpulan terpisah sebelumnya. Kumpulan terbaru itu ia beri tajuk ”Pada Bantal Berasap”. Terkait kehadiran buku tersebut pula esai ini disusun.

Jalan keluar dari struktur

Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional bahwa sajak harus me-ngandung makna dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Sebab, melalui sajak-sajaknya, hemat saya Afrizal tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa-yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya, Afrizal seperti hendak mengajak pembaca mencari "jalan keluar bagi bahasa" yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.

Salah satu contoh terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul ”Blax Box” (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek (terbentuknya kata) dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Alhasil, struktur menjadi yang utama.

Afrizal mengonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama ”Black Box” sebagai berikut: "nabi/ kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi".

Akan tetapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, "tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita". Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekadar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, "aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.”

Langkah ekstrem di tikungan paradigmatik

Kasus lain dari tawaran "jalan bahasa" Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran subjek (P), predikat (P), dan objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure ataupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika struktural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.

Dengan rujukan tersebut, bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal secara keseluruhan bermain pada poros sintagmatik yang ketat, tetapi sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik "kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba". Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu de-ngan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi "para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba". Dengan demikian, larik ini menjadi sangat konvensional.

Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi karena cara kita melihat bahasa memang sa-ngat konvensional. Bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengonstruksi dunia hingga ke titik yang pa-ling misterius.***

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010

Sajak Pertemuan Mahasiswa
Oleh : W.S. Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
WS Rendra Muda
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana !
Jakarta 1 Desember 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja.



============================================
Sajak Sebatang Lisong
Oleh : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat, dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.   Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,   tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan, tanpa pepohonan,   tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.

===============================================

Rabu, 07 November 2012

Potret Pendidikan Kesusastraan Pesantren


A.                Pendahuluan

Untuk mengawali tulisan ini, perlu diketahui bahwa pesantren merupakan akar budaya yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan seseorang di dalam lingkungan pesantren.
Di pesantren salah satu materi pokok pembelajaran adalah bahasa arab. Sumber paling dasar dan otentik ajaran pesantren, yakni Al-Qur’an, Hadist, dan Atsar (opini) sahabat, juga menggunakan bahasa Arab. Dalam Surah Yusuf Ayat ke-2 ditegaskan oleh Allah Swt, bahwa kitab suci umat Islam memang diturunkan dalam bahasa Arab. Penegasan ini secara sosiologis melahirkan dimensi teologis di mana mempelajari bahasa Arab bukan seperti mempelajari bahasa asing lainnya, namun ada dimensi “transendental”, dengan kata lain bagian dari ibadah.
Yang menarik, dan banyak disadari berbagai kalangan, materi pembelajaran bahasa Arab menggunakan teks yang disusun dalam bentuk --sekaligus juga metode-- sastrawi, yakni puisi atau nazdoman (syi’ir). 
Hal ini adalah sesuatu yang tidak ditemukan di komunitas maupun institusi pendidikan keislaman lain di Indonesia. Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah, Maqshud, hanyalah sebagian kecil contoh teks standar yang dipakai pesantren dalam mempelajari gramatika bahasa Arab. 
Keberhasilan menghafal bait-bait syair dalam kitab-kitab tersebut merupakan prestasi tersendiri di mata santri. Bagi komunitas lain, menghafalkan hal tersebut barangkali akan menguras energi tersendiri. 
Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi sastra di pesantren sangat kuat, paling tidak dalam salah satu genre sastra, yakni puisi.Setahu saya, tidak ada satupun bahasa di dunia ini dirumuskan dan diajarkan dalam bentuk puisi secara utuh.Banyak pemikir dunia menggunakan puisi atau genre sastra lainnya seperti novel sebagai arena mengekspresikan gagasan mereka, namun tidak dalam konteks pembelajaran bahasa.



B.                 Potret Pendidikan Kesusastraan Pesantren
Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan, pemondokan (karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap sebagai pengejawantahan lokal genius pendidikan Nusantara yang sejati.
Kekayaan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya ini tidak saja populer di Indonesia, melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.
Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Imrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.
Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.

Munculnya Wacana Sastra Pesantren
Belakangan, muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing.
Akan tetapi, ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra pesantren dianggap sebagai nama bagi genre (yang secara teoretis, hal ini tidak mendapatkan alasan pendukung), sementara di sisi yang lain sastra pesantren dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”; dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama pada era Orde Baru, orang-orang pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder dalam segala aspek kehidupannya. Tidak hanya minder, mereka juga merasa tidak mempunyai wilayah yang memadai untuk mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan bahkan di ranah pendidikan sekalipun: suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar pijakannya. Sebab, dalam banyak penelitian, pesantren dianggap sebagai pralambang model pendidikan sejati di Nusantara.
Secara lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di mushollah, dan seterusnya. Mimang, identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007).
Beruntung, sejak Gus Dur menjadi presiden, sedikit demi sedikit, kaum santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya untuk memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat dan kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren, tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran vital. Data-data yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren itu telah disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan meyakinkan bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama ini “memusuhi” pesantren.

Tradisi Intelektualisme di Pesanten
Tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada pula yang telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah satu dari kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan (pondok). Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina telah diterjemahkan dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara pesantren telah dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini merupakan model pendidikannya yang sejati.
Di samping itu, bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah kuat” tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab yang dikarang maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama agama—menjadi identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting lainnya adalah tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir atau nadham).
Transformasi ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung di pesantren, juga dari luar ke pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi, sebelum itu, perlu dicatat bahwa silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum dibentuk melalui dua fase. Fase pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara, terjadi pada abad ke-13 sampai abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad ke-18 sampai awal abad 20. Pada fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat Islam di Timur Tengah dan membawanya pulang kembali ke negeri asal mereka (Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama ini kemudian menjadi tokoh dan banyak memberikan warna pada kehidupan masyarakat.
C.                Penutup
·                     Nama pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan tradisi bangsa Indonesia.

·                     Sastra pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya sastra (genre) yang telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke Akhirat”-nya Djamil Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari “Tadarus”-nya Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang diterbitkan oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya berdasarkan kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka tentu demikianlah adanya sastra pesantren itu.


Wallahu a’lam.


Minggu, 14 Oktober 2012

MAKALAH TENTANG MENGENAL LEBIH DEKAT AKHLAK PARA KEKASIH ALLAH (NABI IBRAHIM, NABI YUSUF DAN NABI AYUB)

-->
MENGENAL LEBIH DEKAT AKHLAK PARA KEKASIH ALLAH
(NABI IBRAHIM, NABI YUSUF DAN NABI AYUB)
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh: Lubet Arga Tengah

Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengetahui baiknya hati dan panca indra.”[1] Berbicara masalah akhlak takkan pernah ada bahasa “basi”. Karena di zaman modern ini, bangsa kita sedang mengalami krisis moral. Demikian yang menjadi penyebab utama ketidakpenentuan bangsa ini.  Jika krisis moral dibiarkan, maka kemungkinan besar bangsa ini akan hancur masa depannya. Praktik hidup yang menyimpang dan penyalahgunaan kesempatan yang merugikan orang lain kian tumbuh subur di negeri  kita yang sungguh pelakunya tidak berakhlak.
                Masyarakat  sesungguhnya sudah ngeri dan tidak ingin lagi mendengar itu semua, tetapi sungguh media massa dan media elektronik terus memberitakannya dan ini makin membuat rakyat takut dan resah, bukan waspada. Pekerjaan rumah kita yang paling mendesak  adalah  memperbaiki akhlak, mental, dan spiritualitas bangsa ini.
                Kita perlu mengembangkan ilmu pengetahuan dan  teknologi yang berwawasan moral.  Justru semakin terbuka dan gampang diakses kejahatan lain akibat penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekali lagi kita harus mengembangkan spiritualitas dan akhlak yang mulia.[2]
Berakhlak kepada Allah bagi seorang hamba merupakan sebuah pengabdian yang bernilai tinggi dan bahkan pengabdian (ibadah) hamba tersebut berfungsi sebagai bukti dari akhlak seorang hamba. Sebab, akhlak sebagai pusat ibadah manusia pun juga bersumber dari kedua ajaran pokok tersebut (al-Quran dan Sunnah Nabi).”[3]Namun, ibadah yang di maksud adalah ibadah dengan penuh keikhlasan dan pengagungan terhadap Allah.SWT , Rasulullah SAW. Memberi petunjuk teknis berakhlak kepada Allah dalam beribadah sholat, misalnya yaitu dengan menjalani secara khusyu’, penuh konsentrasi secara paripurna, seraya meyakini dirinya bahwa dirinya di saksikan oleh Allah SWT. Seperti itulah adab atau etika dalam beribadah atau menyembah Allah SWT.
Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan membahas lebih dalam lagi tentang akhlak, yang dapat kita ketahui melalui akhlak para Nabi khususnya  Nabi Ibrahim, Nabi Nabi Ayub, dan  Nabi Yusuf.
BAB II
PEMBAHASAN

A.             Akhlak Nabi Ibrahim As.
1.              Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim As. Di antara kisah beliau adalah ketika beliau didatangi para malaikat yang akan diutus untuk membinasakan kaum Luth. Para malaikat tersebut terlebih dahulu mendatangi Ibrahim dan istrinya, Sarah untuk memberi kabar gembira akan kelahiran anak mereka yang ‘alim yaitu Nabi Allah Ishaq As. Sebagaimana Allah berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ. إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ. فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ. فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ. فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ. فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ. قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ.
Artinya: Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).[4]

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala benar-benar memuji kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis salam. Para malaikat sebagai tamu tadi, ketika masuk ke rumah beliau, mereka memberikan penghormatan dengan ucapan, “Salaaman”. Aslinya, kalimat ini berasal dari kalimat, “Sallamnaa ‘alaika salaaman (kami mendoakan keselamatan padamu)”. Namun lihatlah bagaimana jawaban Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam terhadap salam mereka. Ibrahim menjawab, “Salaamun”. Maksud salam beliau ini adalah “salaamun daaim ‘alaikum (keselamatan yang langgeng untuk kalian)”. Para ulama mengatakan bahwa balasan salam Ibrahim itu lebih baik dan lebih sempurna daripada salam para malaikat tadi. Karena Ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan kata benda) sedangkan para malaikat tadi menggunakan jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja). Menurut ulama balaghoh, jumlah ismiyyah mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus. Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim ‘alaihis salam. Kita bisa mengambil pelajaran dari sini bahwa hendaklah kita selalu menjawab ucapan salam dari saudara kita dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).[5]
Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: “Assalaamu ‘alaikum”, maka minimal kita jawab: “Wa’laikumus salam”. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah”, atau kita tambahkan lagi: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh”. Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas pula, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih. Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum (bukan cemberut) dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas salam dengan yang lebih baik.

2.                    Memuliakan Tamu
     Dalam cerita Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga yaitu akhlaq memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim As.  untuk tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:
a.          Beliau melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya.
b.          Beliau menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau sebagian saja.
c.          Beliau pun memilih daging dari kambing yang gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat berharga.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita Muhammad SAW.

3.                    Berbicara dengan Lemah Lembut
Dalam ayat yang kami bawakan di awal tadi, kita dapat menyaksikan bagaimana Nabi Ibrahim As.  juga mencontohkan akhlaq berbicara lembut kepada para tamunya. Lihatlah ketika menjawab salam tamunya, beliau menjawab, “Salaamun qoumun munkarun” (selamat atas kalian kaum yang tidak dikenal). Kalimat ini dinilai lebih halus dari kalimat ‘ankartum‘ (aku mengingkari kalian). Begitu pula ketika Ibrahim mengajak mereka untuk menyantap makanan. Bagaimana beliau menawarkan pada mereka? Beliau katakan, “Ala ta’kuluun” (mari silakan makan). Bahasa yang digunakan Ibrahim ini dinilai lebih halus dari kalimat, “Kuluu” (makanlah kalian). Ibaratnya Ibrahim menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan tamunya. Kalau kita mau sebut, beliau menggunakan bahasa “kromo” (bahasa yang halus dan lebih sopan di kalangan orang jawa). Inilah contoh dari beliau bagaimana sebaiknya seseorang bertutur kata.

B.                  Akhlak Nabi Yusuf  As.
1.        Teguh dalam Menjaga Diri.  
Ketika beliau digoda oleh istri Al-’Aziz (raja Mesir), beliau menolaknya dengan sangat sopan.. Qoola ma’aadzallaah.. Innahuu rabbiiy ahsana matswaay.. “Aku berlindung kepada Allah.. Sesungguhnya dia, tuanku –yang memilikiku sebagai budaknya-  benar-benar telah memperlakukanku secara baik.”[6]
Kemudian Nabi Yusuf memberi alasan tentang sikapnya tersebut dengan berkata: Innahuu laa yuflihudh-dhoolimuun.. “Sesungguhnya Allah Ta’ala takkan memberi kemenangan pada orang yang berbuat dholim..”[7] yaitu perbuatan menganiaya diri sendiri atau menganiaya orang lain dengan suatu pengkhianatan atau melanggar kehormatan.
Kata-kata Nabi Yusuf tersebut merupakan isyarat bahwa ia merasa bangga dengan Rabbnya dan teguh memegang agama dan amanat Rabbnya.. serta menyindir pengkhianatan istri tuannya. Oleh karena pengelakan itu, istri Al-‘Aziz menjadi marah, hendak membalas dendam kepada Nabi Yusuf agar kemarahannya terobati karena ia gagal mencapai keinginannya dan terhina dengan sikap Nabi Yusuf yang tidak mau meladeni kehendaknya. Sedangkan Nabi Yusuf bersiap-siap hendak membela diri dari serangan wanita itu dan hendak memukulnya. Namun, Nabi Yusuf melihat tanda dari Rabbnya.. dari lubuk jiwanya. Apakah itu?Allah memberi ilham pada Nabi Yusuf bahwa lari dari tempat itu adalah lebih baik sehingga ia tidak jadi menyerang wanita itu dan lebih baik lari menghindarinya. Dengan demikian, terlaksanalah kebijaksanaan Allah tentang apa yang Dia persiapkan untuk Nabi Yusuf. “Kadzaalika linashrifa ‘anhus-suu-a wal fakhsyaa’..”Demikianlah agar Kami memalingkannya dari kemungkaran dan kekejian..” Allah menghindarkan Nabi Yusuf dan menjaganya dari dorongan untuk melakukan keburukan ataupun dorongan untuk melakukan kekejian sehingga beliau takkan keluar dari orang yang berbuat baik menuju golongan orang yang berbuat dholim.

2.        Membalas Kejahatan dengan Kebaikan
Dalam surat yusuf pada ayat 89-92, diceritakan akhirnya saudara-saudaranya mengetahui bahwa pembesar Mesir yang mereka mintai bantuan itu adalah Nabi Yusuf. Tentu mereka merasa takut karena dulu pernah membuangnya ke sumur dan meninggalkannya. Namun, justru Nabi Yusuf dengan kelembutan hati tidak mencela kepada mereka sedikitpun. Bahkan, malah mendoakan agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahan mereka.

      3.        Kesantunan dan Kelembutan Nabi Yusuf.
Jika kita memperhatikan gaya bahasa yang dipakai Nabi Yusuf dalam berbicara atau menjawab pertanyaan, maka akan kita temukan kata-kata yang sangat halus, sangat sopan, dan sangat indah.. J Juga sikap beliau yang sangat santun dan hormat pada orang tuanya dan juga pada saudara-saudaranya.
Dari keseluruhan akhlaq Nabi Yusuf As. tersebut, saudara-saudaranya yang awalnya iri dan dengki pada beliau hingga berbuat jahat pada beliau, akhirnya -bi idznillah- menjadi orang-orang yang baik dan bertaubat pada Allah. Ini merupakan kisah yang happy ending.
Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa meskipun secara lahir pada awalnya seseorang mendapatkan bencana/hal yang tidak disukainya, namun sebenarnya Allah memiliki hikmah yang besar di baliknya. Sebenarnya Allah memberikan karunia kepadanya. Meskipun pada awalnya saudara-saudara Yusuf berlaku jahat padanya, sedangkan dia tetap sabar menghadapi segala kesusahan itu hingga Allah memberinya kedudukan yang tinggi di Mesir dan menganugerahi Nabi yusuf berupa hukum dan ilmu ta’bir mimpi.
Semua ini adalah balasan dari Allah atas kebaikan Nabi Yusuf ‘alaihis salamdalam perjalanan hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi anugerah pada tiap cobaan dan memberi kenikmatan pada setiap yang pada lahirnya berupa bencana/musibah.

C.                       Akhlak Nabi Ayub As
Ulama ahli tafsir, ahli sejarah, dan ilmuwan lainnya mengatakan, bahwa Nabi Ayub adalah seorang laki-laki yang kaya raya dengan berbagai macam harta kekayaannya, baik berupa binatang ternak, tanah pertanian yang membentang di daerah hurran. Namun, tak membuatnya dia sombong atau merasa bangga akan harta kekayaannya.”[8]
Ibnu Asakir menceritakan bahwa semua itu adalah milik Nabi Ayub. Ia mempunyai  anak dan keluarga yang sangat banyak.  Lalu semua kekayaan itu diambil darinya, lalu fisiknya diuji dari berbagai macam penyakit, sehingga tidak ada satupun anggota tubuhnya yang sehat kecuali hati dan lidahnya. Dengan hati dan lidahnya itulah Nabi Ayub selalu berdzikir kepada Allah SWT. Dalam kondisinya yang semacam itu, ia tetap sabar dan tabah serta tetap selalu berdzikir kepada Allah SWT. Pada siang dan malam hari, pagi dan sore.
Nabi Ayub menderita sakit semacam itu dalam waktu yang cukup lama hingga ia dikucilkan dan diusir dari kampungnya serta diusir keluar kampung di tempat pembuanga sampah. Tidak ada seorangpun yang menaruh kasian kecuali hanya istrinya. Ia selalu memberikan perhatian yang besar, menghargai dan tidak melupakan kebaikan dan kasih saying Nabi Ayub di masa-masa yang telah berlalu.
Istrinya tidak henti-hentinya mengurus segala yang dibutuhkannya, termasuk membantunya membuang hajat. Suatu ketika keadan istrinya semakin lemah dan kekayaannyapun semakin menipis, hingga keadaan memaksakan dirinya untuk bekerja dengan orang lain untuk dapat member makan suaminya serta mengobatinya. Ia tetap sabardan tabah dengan keadaan yang menimpa Nabi Ayub, yang kehilangan kekayaan dan anak-anak dari sisinya,serta penderitaan yang dating bertubi-tubi, dari keadaan sebelumnya yang kaya raya, benar-benar  merasakan kenikmatan dan kemuliaan. Semuanya hilang, kehormatan, kenikmatan kemuliaan, kiranya hanya satu kata yang mesti dikatakan, innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un, ( Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNYA kami akan kembali).
Semua ujian dan cobaan itu tidak menambah Nabi Ayub as. Melainkan justru membuatnya bertambah kesabaran, ketabahan, pujian dan rasa syukurnya.
Dari Mujahid, ia berkata ”Nabi Ayub as. Adalah orang yang pertama kali menderita penyakit gatal-gatal.” Mengenai berapa lama Nabi Ayub mendapat ujian semacam itu, terjadi perbedaan diantara para ahli tafsir dan sejarah.
Wahab berpendapat bahwa Nabi Ayub menjalani ujian seperti itu , selama tiga tahun, tidak lebih dan tidak kurang. Sementara Anas berpendapat bahwa Nabi Ayub menjalani ujian itu, selama tujuh tahun beberapa bulan lamanya. Ia dibuang di tempat sampah milik Bani Israil, hingga dikerumuni lalat dan berbagai macam serangga lainnnya. Maka Allah SWT. Melipat gandakan pahala baginya dan memberikan pujian yang baik kepadanya. Hamid berkata “ Nabi Ayub menjalani masa ujiannya selama delapan belas tahun.”




BAB III
KESIMPULAN

Akhlak adalah suatu ajaran, wawasan, atau perilaku manusia yang menggambarkan kepribadian yang didasari oleh nilai-nilai agama islam. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, moral atau akhlak merupakan sebuah system yang melahirkan corak yang bermacam-macam, ada akhlak tercela (madzmumah).  Kita sebagai manusia sebagai manusia seharusnya berhati-hati dalam berucap dan bersikap. Akhlak akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang akan membawa manusia pada ketenangan dan kedamaian jiwa dibawah ridha Allah SWT. Jika mereka mampu berakhlakul karimah , begitu juga sebaliknya. Akhlak yang dihadapi
Persoalan Akhlak yang dihadapi bangsa dewasa ini bukan persoalan individual,tetapi merupakan soal umat sehingga yang layak bertanggung jawab adalah institusi keluarga, karena merupakan bagian dari struktur masyarakat kecil. Jadi, proses pembelajaran akhlak dimulai dari lingkungan keluarga. Hal yang paling mudah mempelajari akhlak adalah dengan mengenal atau mengetahui akhlak-akhlak para Nabi. Salah satunya akhlak Nabi Ibrahim. Adapun akhlak yang dimiliki:
A.      Nabi Ibrahim as
·         Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik
·         Memuliakan Tamu
·         Berbicara dengan Lemah Lembut
B.      Nabi Yusuf as
·       Teguh dalam Menjaga Diri.
·       Membalas kejahatan dengan kebaikan.
·       Kesantunan dan kelembutan Nabi Yusuf.
C.      Nabi Nabi Ayub as
·       Sabar dalam menghadapi cobaan dari Allah SWT.
·       Tidak sombong
·       Selalu Taat pada perintahNya ( Bertaqwa)
·       Selalu baik terhadap sesama






[1]  K. Wakid Yusuf,Dkk. Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliah (Sumenep: Latee Annuqayah, 2010), 137.
[2]  M. Sholihin, Akhlak Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup (Bandung: Nuansa, 2005), 105.
[3]  H. Hamzah Tualeka Zn, Dkk., Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 9.
[4] QS. 51:24-30
[5]  QS. 4:86
[6] Ibnu Katsir, Qishasul Anbiya’, (Surabaya: AmeLIa, 2008), 364.
[7]  Ibid., 365.
   [8]  Ibid., 433